Tag Archives: aceh

Mancing Matahari

Halooo!!!
Hari Minggu yang agak mendung di sini. Kamar masih rapi, acara tv ga ada yang oke, cucian udah beres, jadi ga ada kegiatan, nih. Well, sambil ngisi waktu sebelum jogging tar sore, saya mau cerita-cerita aja, deh.

Kebetulan saya bekerja di Aceh (bukan kebetulan, sih, nasib aja 😦 ). Bisa dibilang Aceh ini kurang fasilitas hiburan. Terutama bagi yang biasa tinggal di kota besar, berasa banget!
Ga ada bioskop, mallnya nanggung, ga ada tempat hangout yang asik. Paling mentok kalo saya lagi pengen nongkrong ya dari warung kopi ke warung kopi. Duh!
Tapiiiii, semua suntuk itu langsung hilang kalau kita lihat alamnya. Tsaakeep! Kapan-kapan, deh, saya upload foto-foto alam Aceh, karena kali ini saya mau cerita soal mancing.

Yep, mancing jadi alternatif hiburan buat saya dan beberapa kawan kantor yang senasib dilempar jauh-jauh untuk merantau (Haha!). Setiap Hari Sabtu kami janjian pagi-pagi untuk menuju spot mancing favorit, yaitu di Ulee Lheue. Dibilang favorit bukan karena banyak ikan, tapi karena adem aja. Hehe.

IMG_1945.JPG
Spot mancing di Ulee Lheue

Namanya juga mancing iseng, modal pancing kami cuma joran seharga 100-200ribuan, dan umpan udang seharga 5ribuan. Jangan dibayangin seperti di acara Mancing Mania itu, yah, jauh! Hihi.
Belagak pro, kami lempar kail jauh-jauh. Hasilnya? Enggak ada! Hahaha!
Itulah kenapa kami memilih nama Genk Mancing Matahari, karena setiap mancing ga pernah dapat ikan, cuma dapat panas doank. Haha.
Ada memang, beberapa teman saya dapat ikan, tapi kecil. Itu tuh, sebesar ikan asin buat tambahan lauk di nasi urap ala pasar tradisional. Ikan Cabe namanya. Bingung kan, itu ikan apa cabe? Mungkin ikan cabe-cabean. 😀

IMG_1936.JPG
Menang gaya doank!

Suatu kali kami pindah spot mancing. Ujung Pancu. Tempat ini bener-bener peradaban terakhir di ujungnya Pulau Sumatera. Lokasi ini berbatasan dengan bukit yang di puncaknya terdapat makam tokoh sastra islam Aceh, namanya Syeikh Hamzah Fansuri As-Singkili. Beliau disebut sebagai tokoh penyair modern pertama Indonesia oleh A. Teeuw dalam makalahnya yang dimuat dalam buku Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan yang diterbitkan Pustaka Jaya pada tahun 1994.
Syeikh Hamzah Fansuri sendiri hidup dan meninggal pada abad 16, namun karya-karyanya tetap hidup hingga 4 abad kemudian. Keren!
Anehnya, makam Syeikh ini ada dua, loh. Satu di Ujung Pancu, dan satu lagi di Subulussalam. Dan dua-duanya diklaim terdapat jasad Syeikh Hamzah. Eeeeww,, serem, yah.

Oke, balik ke spot mancing. Ujung Pancu ini rupanya jadi tempat favorit Bapak-bapak yang hobi mancing. Tidak hanya yang berasal dari Banda Aceh, mereka juga datang dari Aceh Besar, Aceh Jaya, bahkan Aceh Tengah! Niat bener ya, mancing doank sampe ke sini jauhnya. Haha!
Saya hampir dapat ikan di situ. Tapi sayang, pas mau gulung reelnya ikannya lepas duluan. Sakitnya tuh di siniiiii! 😦
Memang antara ga hoki dan ga ahli itu tipis, saya cuma bisa memandang keki Bapak-bapak di kanan kiri saya yang dapat ikan mulu. Saya pun akhirnya memilih ngadem, pesen mie rebus, dan secangkir kopi buat menghibur diri. Ehm, antara menghibur diri dan laper juga tipis, sih. 😀

Sayangnya, Genk Mancing Matahari sekarang lagi vakum untuk sementara. Selain faktor cuaca yang sedang tidak bersahabat, salah satu teman kami sudah lulus dari akademi Aceh, dan berhasil pulang duluan ke Jawa. Uuuhh! Berkurang, deh, anggotanya.

IMG_2280-1.JPG
Genk Mancing Matahari 🙂

Demam Batu ala Aceh

Hai! It’s been a long time, yah, saya ga nulis-nulis. Hihi, pemalas memang.
Kali ini saya akan membahas tentang demam batu yang sedang melanda Aceh.

Batu? Iya batu! Tapi bukan sembarang batu. Batu giok namanya. Giok Aceh mendadak terkenal sejak keluar dalam cover majalah Gem Stone. Tu loh, majalah kesukaan Bapak-bapak penggila batu akik, permata, dan konco-konconya. Jadi ceritanya, ada sebuah lokasi di Kabupaten Nagan Raya, namanya Betung, yang menyimpan ribuan ton batu giok. Sejak awal 2014 lalu, batu giok dari Betung ditambang secara besar-besaran, dan dikirim ke Jakarta, Eropa, China, serta berbagai belahan dunia lain. Namun segera saja penambangan batu ini menjadi tidak sehat, pemerintah daerah pun menghentikan penambangan batu secara membabi buta ini pada medio 2014. Apalagi ditengarai penambangan batu ini dilakukan di hutan lindung. Oh, no!!
Tapi kalau penambangan skala kecil masih tetap dilakukan oleh masyarakat setempat, lokasinya kurang tau persis di hutan lindung ato di luar hutan lindung. Belum pernah ngecek ke sana juga, sih. Hehe.
Anyway, batu giok ini terkenal banget! Seiring dengan ketenarannya, harga jualnya pun melambung setinggi langit, mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah. Wow!! Tapi ya tentu saja tergantung kualitasnya.
Jadi batu giok ini dibagi jadi dua jenis, yang pertama adalah nephrite/jade. Batu ini berwarna hijau muda sampai hijau tua pekat. Terkadang ada totol-totolnya kalau sudah diasah. Jika disenter dari bawah maka cahayanya akan tembus, cakep deh.

IMG_2669.JPG
Batu nephrite/jade

Batu jenis di atas relatif miring, harga paling tinggi ‘hanya’ ratusan ribu, untuk jenis yang totolnya cantik.
Nah, jenis yang kedua ini juaranya, yaitu jenis Idocrase. Giok yang sudah mengkristal ini menjadi idola tidak hanya bagi orang Aceh, tapi juga orang-orang di luar Aceh, terutama Jakarta. Permintaan yang tinggi membuat harga ikut merangkak naik, hingga cari batu ini di Aceh sendiri sudah susah, karena barang langsung dikirim ke Jakarta. Idocrase tadinya hanya yang berjenis lumut, lalu ditemukan lagi jenis solar, bio solar, belimbing, anggur, dan lain-lain. Penamaan lokal ini didasarkan pada tampilan warna batu idocrase itu sendiri. Saya juga kadang suka bingung kalo lagi iseng main ke lapak batu, dengerin penjelasan yang jual cuma manggut-manggut sok ngerti aja. Hehe.

IMG_2803.JPG
Batu idocrase

Batu idocrase lumut sudah sering menjadi juara dalam berbagai pameran batu yang diselenggarakan di Jakarta. Harganya yang fantastis membuat orang-orang penasaran dan pengin juga memiliki versi ‘murahnya’.
Kebetulan tadi saya keliling lapak batu di Banda Aceh untuk mencari pesanan Kakak. Wuih, bener-bener, deh, perjuangan benar mencari batu idocrase dengan harga di bawah satu juta. Tapi rupanya hari ini saya sedang hoki. Saya nemu batu idocrase dengan harga lumayan miring. Udah bisalah dipamerin ke sesama pecinta batu pemula, “Eh, ini giok Aceh, loh.”, sounds cool, kan? Hehe.
Batu idocrase lumut ini juga banyak ditemui di Aceh Tengah, di Desa Lumut. Konon katanya, nama lumut diambil dari nama desa itu. Tapi ada juga orang bilang nama lumut diambil dari penampakan batu yang seperti ada lumut di dalamnya. Entah mana yang betul, yang penting dari Nagan atau Aceh Tengah, batu-batu ini sama indahnya.

Pemerintah Aceh sendiri tampaknya mulai serius menggarap potensi batu yang ada di wilayahnya. Peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penjualan batu tampaknya jadi tujuan utama. Bahkan, pemerintah menyediakan lokasi khusus untuk menjual batu. Lokasi ini menampung hampir 20 kios penjual batu. Terletak di Ulee Lheue, lokasi ini diharapkan bisa menjadi tujuan wisata bagi turis yang pulang dari Sabang, atau turis yang sekedar berkeliling Banda Aceh.
Komplek lapak batu di Ulee Lheue ini lumayan lengkap. Mulai dari jenis akik agate, kalimaya, pancawarna, nephrite/jade, idocrase, dan yang lagi hits sekarang; batu cempaka dari Panga, Aceh Jaya. Batu cempaka ini tidak semahal idocrase memang, tapi berhubung lagi tren, yah, sesuai hukum pasar, permintaan naik harga ikut naik. Cuma masih terjangkaulah.

Saya suka sekali batu-batu cantik. Bukan penggemar yang fanatik, sih, jadi kalau mau beli, ya, menyesuaikan budget aja, dan bahkan lebih sering dikasih suami, kakak, atau teman. Hihi.
Sejauh ini saya punya batu satam dari Belitung, kecubung dari Pangkalan Bun, nephrite/jade, idocrase lumut, bio solar, cempaka madu dari Bengkulu, jasper ati ayam, pancawarna, dan giok timun.

Hmm, gimana, tertarik ikut mengkoleksi batu? 🙂