Halooo!!!
Hari Minggu yang agak mendung di sini. Kamar masih rapi, acara tv ga ada yang oke, cucian udah beres, jadi ga ada kegiatan, nih. Well, sambil ngisi waktu sebelum jogging tar sore, saya mau cerita-cerita aja, deh.
Kebetulan saya bekerja di Aceh (bukan kebetulan, sih, nasib aja 😦 ). Bisa dibilang Aceh ini kurang fasilitas hiburan. Terutama bagi yang biasa tinggal di kota besar, berasa banget!
Ga ada bioskop, mallnya nanggung, ga ada tempat hangout yang asik. Paling mentok kalo saya lagi pengen nongkrong ya dari warung kopi ke warung kopi. Duh!
Tapiiiii, semua suntuk itu langsung hilang kalau kita lihat alamnya. Tsaakeep! Kapan-kapan, deh, saya upload foto-foto alam Aceh, karena kali ini saya mau cerita soal mancing.
Yep, mancing jadi alternatif hiburan buat saya dan beberapa kawan kantor yang senasib dilempar jauh-jauh untuk merantau (Haha!). Setiap Hari Sabtu kami janjian pagi-pagi untuk menuju spot mancing favorit, yaitu di Ulee Lheue. Dibilang favorit bukan karena banyak ikan, tapi karena adem aja. Hehe.
Namanya juga mancing iseng, modal pancing kami cuma joran seharga 100-200ribuan, dan umpan udang seharga 5ribuan. Jangan dibayangin seperti di acara Mancing Mania itu, yah, jauh! Hihi.
Belagak pro, kami lempar kail jauh-jauh. Hasilnya? Enggak ada! Hahaha!
Itulah kenapa kami memilih nama Genk Mancing Matahari, karena setiap mancing ga pernah dapat ikan, cuma dapat panas doank. Haha.
Ada memang, beberapa teman saya dapat ikan, tapi kecil. Itu tuh, sebesar ikan asin buat tambahan lauk di nasi urap ala pasar tradisional. Ikan Cabe namanya. Bingung kan, itu ikan apa cabe? Mungkin ikan cabe-cabean. 😀
Suatu kali kami pindah spot mancing. Ujung Pancu. Tempat ini bener-bener peradaban terakhir di ujungnya Pulau Sumatera. Lokasi ini berbatasan dengan bukit yang di puncaknya terdapat makam tokoh sastra islam Aceh, namanya Syeikh Hamzah Fansuri As-Singkili. Beliau disebut sebagai tokoh penyair modern pertama Indonesia oleh A. Teeuw dalam makalahnya yang dimuat dalam buku Indonesia Antara Kelisanan dan Keberaksaraan yang diterbitkan Pustaka Jaya pada tahun 1994.
Syeikh Hamzah Fansuri sendiri hidup dan meninggal pada abad 16, namun karya-karyanya tetap hidup hingga 4 abad kemudian. Keren!
Anehnya, makam Syeikh ini ada dua, loh. Satu di Ujung Pancu, dan satu lagi di Subulussalam. Dan dua-duanya diklaim terdapat jasad Syeikh Hamzah. Eeeeww,, serem, yah.
Oke, balik ke spot mancing. Ujung Pancu ini rupanya jadi tempat favorit Bapak-bapak yang hobi mancing. Tidak hanya yang berasal dari Banda Aceh, mereka juga datang dari Aceh Besar, Aceh Jaya, bahkan Aceh Tengah! Niat bener ya, mancing doank sampe ke sini jauhnya. Haha!
Saya hampir dapat ikan di situ. Tapi sayang, pas mau gulung reelnya ikannya lepas duluan. Sakitnya tuh di siniiiii! 😦
Memang antara ga hoki dan ga ahli itu tipis, saya cuma bisa memandang keki Bapak-bapak di kanan kiri saya yang dapat ikan mulu. Saya pun akhirnya memilih ngadem, pesen mie rebus, dan secangkir kopi buat menghibur diri. Ehm, antara menghibur diri dan laper juga tipis, sih. 😀
Sayangnya, Genk Mancing Matahari sekarang lagi vakum untuk sementara. Selain faktor cuaca yang sedang tidak bersahabat, salah satu teman kami sudah lulus dari akademi Aceh, dan berhasil pulang duluan ke Jawa. Uuuhh! Berkurang, deh, anggotanya.